Oleh: Syifa Syam Ashacia
Udara pagi di desa terpencil itu terasa menusuk tulang, namun klinik kecil di ujung jalan ini memancarkan kehangatan yang tak terlukiskan. Di ambang pintu, aku berdiri tegak dengan jas putih bersih. Senyumku mengembang, siap menjadi obat pertama bagi jiwa-jiwa yang sakit.
Namaku Syifa Syam Ashacia. Dan ini adalah duniaku di tahun 2035.
Satu dekade telah berlalu sejak aku, seorang siswi kelas X-7 di MAN 3 yang penuh harap, merumuskan mimpi ini dalam sebuah esai kompetisi. Kala itu, cita-citaku tertulis sederhana namun setinggi langit: Dokter Umum. Namun bagiku, itu bukan sekadar gelar, melainkan gerbang menuju visi besarku untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi banyak orang.
Aku sadar, jalan menuju titik ini adalah pendakian yang terjal. Pendidikan kedokteran bagaikan lautan buku dan malam-malam tanpa tidur. Namun, aku memegang kompas yang kuat: berani mencoba hal baru dan pantang menyerah.
Kompas itulah yang menuntunku melampaui batas tembok rumah sakit. Saat teman-temanku memilih spesialisasi di kota besar yang menjanjikan kemewahan, aku memilih jalan sunyi. Aku terjun ke program layanan kesehatan keliling, menjangkau mereka yang tak terjangkau.
Aku ingat betul rasa frustrasi saat timku kesulitan memantau pasien di daerah terisolasi. Namun, masalah itulah yang memantik inovasi anak muda dalam diriku. Teringat masa-masa kuliah dan kolaborasiku dengan Telkom University, aku menyadari bahwa teknologi adalah kunci.
Di kampus yang visioner itulah aku belajar bahwa medis dan digital bisa bersatu. Bermodal ilmu technopreneurship dari ekosistem Telkom University, aku mengembangkan sistem telemedicine sederhana namun tepat guna.
“Bermanfaat itu bukan cuma soal mengobati, tapi soal memecahkan masalah akses,” gumamku pada diri sendiri.
Hari ini, sistem itu telah menjembatani kesenjangan layanan antara kota dan pelosok. Aku tidak hanya mengobati fisik, tetapi juga peduli pada masa depan pendidikan kesehatan masyarakat. Aku ingin warga desa melek teknologi kesehatan, sehingga pencegahan penyakit bisa dilakukan sejak dini.
Kini, aku melihat refleksi visi masa laluku terwujud nyata. Setiap senyum pasien dan setiap penurunan angka gizi buruk adalah bukti validasi mimpiku.
Dari bangku MAN 3 hingga ruang praktikku di tahun 2035, aku telah membuktikan bahwa keberanian mencoba hal baru adalah cetak biru kehidupan yang menghasilkan cahaya. Sesuai namaku, aku ingin terus menjadi Syifa—penawar dan penyembuh—bukan hanya bagi pasienku, tetapi juga bagi peradaban di sekelilingku.
