Oleh: Zian Farihah Maiza
Lampu sorot panggung Jakarta Convention Center terasa hangat di wajahku, namun tidak sehangat gemuruh tepuk tangan yang baru saja reda. Ini tahun 2035. Di layar raksasa di belakangku, tertulis dua kata sederhana di bawah namaku: “CEO & Educator”.
Aku menarik napas panjang, tersenyum tenang menatap ribuan audiens. Ketenangan ini bukan dibuat-buat, melainkan hasil tempaan satu dekade.
“Sepuluh tahun lalu,” suaraku menggema memenuhi ruangan, “Aku hanyalah seorang gadis di bangku kelas X-7 MAN 3 yang memiliki dua cita-cita yang terdengar bertabrakan: Ingin menjadi guru yang mengabdi, tapi juga ingin menjadi pengusaha yang sukses.”
Terdengar tawa kecil dari audiens. Mereka tahu, sosok yang berdiri di depan mereka kini bukan lagi remaja yang sekadar bermimpi, melainkan arsitek dari visinya sendiri.
“Banyak yang bilang, guru itu lilin yang membakar diri, sementara pengusaha itu pemburu profit,” lanjutku. “Tapi aku bertanya, kenapa tidak keduanya? Kenapa inovasi anak muda tidak bisa menjembatani keduanya?”
Perjalanan menuju titik ini tidak instan. Aku ingat betul saat menutup buku seragam putih abu-abu. Aku tahu, untuk membangun perusahaan Edutech yang dikenal hingga mancanegara, aku butuh fondasi yang kokoh.
Fondasi itu kutemukan di Telkom University. Kampus ini bukan sekadar tempatku meraih gelar. Ia adalah ekosistem yang mengajarkanku bahwa strategi bisnis bukan sekadar teori buku teks. Di sanalah aku belajar keberanian mengambil risiko terukur dan memahami pasar digital. Telkom University menjadi laboratorium pertamaku untuk meracik formula bisnis yang berdampak sosial.
Di kampus itu pula, aku membangun jembatan. Aku tidak menunggu lulus untuk bergerak. Aku mencari relasi, menarik investor, dan meyakinkan mereka bahwa masa depan pendidikan Indonesia ada di tangan teknologi vokasi yang terintegrasi.
Dan hasilnya?
Hari ini, perusahaan yang kubangun bukan sekadar mesin uang. Kami adalah platform pendidikan vokasi yang menjadi mitra utama pemerintah di ASEAN. Kami membuktikan bahwa profit dan purpose (tujuan mulia) bisa berjalan beriringan. Kualitas produk dan integritas tim adalah kunci yang selalu kami pegang teguh.
Namun, di balik setelan jas CEO ini, separuh jiwaku yang lain tetap terpenuhi.
Setiap Jumat sore, aku melepas atribut CEO-ku. Aku kembali ke ruang kelas, bukan sebagai bos, tapi murni sebagai ‘guru’. Aku mengajar para calon wirausahawan muda, membagikan ilmu tentang strategi dan kegagalan. Momen itulah yang selalu kunanti—saat aku bisa melihat binar mata mereka yang haus ilmu.
“Banyak yang bertanya, apakah visi saya sudah tercapai?” ujarku menutup pidato. “Perusahaan ini sudah dikenal nasional dan merambah global. Tapi visi bukanlah titik akhir. Visi adalah bahan bakar yang membuat kita terus bergerak.”
Tepuk tangan kembali membahana. Di panggung tahun 2035 ini, aku, Zian Farihah Maiza, berdiri utuh. Aku telah membuktikan bahwa kontradiksi masa lalu hanyalah harmoni yang belum ditemukan. Aku adalah pengusaha sukses dengan hati seorang guru.
